August 1, 2010

tiket dari Rany


Tanpa terasa bulan juli telah berakhir, dan matahari yang akan ku lihat esok tidak lagi dari atas bumi pertiwi ini. Ya...aku sudah di bandara bersama keluarga, tas ransel yang biasa terasa ringan sekarang telah menjadi berat, sepatuku pun seakan terbuat dari besi. Semua yang ku kenakan tak seperti biasanya, Inilah reaksi tubuh karena hati ini masih belum rela untuk meninggalkan desa tempat aku lahir.
Kadang aku merasa heran dengan pertanyaan yang tak pernah mampu ku jawab. Mengapa aku sedih, bukankah ini yang aku tunggu setelah sekian lama?. Tiga  bulan menunggu keputusan untuk melanjutkan S1 di Malaysia. Dan kini, semua yang aku rasakan hanya pada saat tertidur telah nyata di depanku. Terjadi pergolakan batin yang tak terelakkan, higga butiran kecil dari mata setiap manusia adalah symbol paling tepat untuk mengungkapkan semua perasaan ini.
Hiruk pikuk bandara yang selalu menghasilkan tangis dari masing-masing keluarga yang akan di tinggalkan, ternyata juga terjadi padaku. Umi adalah orang yang paling emosi saat itu, memelukku dengan erat hingga aku merasakan betapa kuat hatinya bertengakar seperti mengisayaratkan “cepat kembali ya anakku”. Tak ada satu katapun yang mampu keluar dari bibirnya, sesekali umih mengajakku untuk saling tatap dan keempat mata kami bertemu dengan tangis yang sama. Berbeda dengan abah yang tampak lebih tenang tanpa sedikitpun airmata di pipinya, beliau juga memelukku dengan senyum terukir indah dengan raut wajah menyerupai bahagia.
Adikku masih terlihat tenang karena belum aku peluk, dia  terlihat ogah menghampiriku, tatapannya jauh dari posisiku berdiri saat ini. Aku tak tau apa yang di fikirkan oleh anak perempuan berumur sepuluh tahun sepertinya. Dia seperti menentang keputusanku saat ini. Tapi ku harap semoga itu hanya perasaanku.
“aisyah, aku berangkat dulu ya, bentar aja. Ramadhan tahun depan insyAllah aku udah buka puasa ama kamu kok…” sahutku di iringi senyum khas dengan posisi sedikit membungkuk, karena adikku masih tetap tak beranjak dari tempat duduknya. Mendengar suara sedang menyapanya, dia hanya menatapku lekat-lekat masih tanpa airmata. Beberapa detik dia tetap termenung dan bibirnya terkatup rapi seperti biasa.
“janji?” jawabnya dengan jari kelingking di ajukan tepat ke arahku. “ah…dasar anak-anak” gumamku dalam hati.
“Iya deh abang janji”
“ga pake ‘deh’ bisa ga?” kali ini mukanya sedikit cemberut.
“iya sayang….” Jawabku tenang, dan jari kami masih melekat satu sama lain. sejenak dia masih tertegun, tapi akhirnya berhasil bangkit dan merangkulku di iringi oleh bibir yang melekat beberapa saat di pipiku. “cepe balik ya bang, kita tengkar lagi ntar…”

@@@@@@@

Sudah dua tahun aku tinggal di negri ini. Banyak hal yang telah ku temukan, sedih dan bahagia memang selalu mengisi hari-hariku yang tak pernah datang bersamaan. Di sini aku bertemu dengan teman-teman kuliah dari berbagai Negara, mulai dari kulit putih hingga kulit hitam semua hadir dengan gayanya masing-masing. Bahkan teman satu Negara pun juga ada di sini.
“eh cuy, udah mo lebaran ni…udah beli tiket?” Tanya salah satu teman satu rumah di apartment yang tak jauh dari kampus, vista.
“kayaknya aku balik tahun depan ajah…hehe, kamu sendiri gimana?” jawabku balik bertanya
“aku mah balik lah…liburan seminggu aja balik, masa yang sebulan ga balik? Hahaha. Ok la, aku masuk dulu bye” ucapnya dengan langkah sedikit lebih cepat.
Fikri namanya, dia termasuk orang yang paling rajin bolak-balik Indonesia, sampai pasportnya penuh dengan stempel imigrasi. Anak kelahiran sunda yang tidak  bisa makan ikan, ayam dan sayur, “benar-benar aneh” itulah komentar pertama saat kita makan di café samad sebelah danau yang masih menjadi bagian dari kawasan kampus.

Aku teruskan langkah yang sempat terhenti oleh fikri, melewati lorong yang hampir menyerupai taman, karena lantainya terbuat dari marmer mirip batu dengan lekukan dan ukuran berbeda membuatnya tak ada bedanya dengan batu asli. Pohon bambu berukuran empat meter berjejer rapi di sampingnya, menjadikan suasana sempurna seolah setiap orang yang berjalan tengah melewati hutan kecil.
Pikiranku sedikit terganggu dengan percakapan pendek dengan fikri tadi, “pulang ga ya?” bisikku dalam hati. Semua seperti cepat dan tak sempat ku rencanakan. Aku putuskan untuk duduk di café dengan tembikai ice sambil chek harga tiket pesawat. Meski sedikit mustahil, tapi tak ada salahnya sekedar surfing plus facebookan mendingingkan kepala yang telah gosong di goreng code-code visual basic.
Aku pilih tempat duduk menghadap ke danau, orang Malaysia menyebutnya ‘tasik’. ku letakkan tas hitam di kursi sebelah setelah ku ambil notebook putih berukuran 12inc, vaio. Beberapa saat kemudian, minumanku datang ketika aku masih asyik berchating ria dengan teman-teman di Indonesia. Aktivitas facebook selalu sama, tapi akan menghadirkan rasa yang berbeda. Notification, message dan friend request. tiga titik terpenting dalam facebook, siapapun penggunanya.
“Aliv? “ sedikit mirip pertanyaan. Mata khas dan senyum yang selalu berhasil menanam benih suka dalam hatiku. Duh….
“ye…macam takut je nampak aku” jawabku santai dengan bahasa melayu, untuk menghormati bahasanya.
“nothing, udah lama sih ga keliatan” perempuan kelahiran Singapore ini malah menjawabnya dengan bahasa Indonesia. “boleh duduk di sini ga?”
“owh…boleh donk” jawabku kali ini dengan logat yang berbeda sambil mengangkat tas yang tadinya ku letakkan di sebelahku lalu ku persilahkan duduk. Rany, aku kenal saat orientasi, dan teman yang bersamanya, jasmine, juga aku kenal saat orientasi. Dua orang ini memang bukan kakak adik, tapi terlihat kompak, ke mana-mana selalu berdua dan dengan pakaian yang hampir selalu sama.

Tanpa terasa sudah setengah jam kami bertiga duduk di meja paling belakang ini. Tawa renyah dan canda telah menghiasi setiap detik yang terlewatkan. Beberapa kali tatapan kami terbentur hampir membuka rahasia perasaan sukaku terhadapnya, Rany. Tapi aku simpan dalam-dalam, karena aku menghormatinya. Maklum, dia anak Syariah di kampusku, pakaiannya selalu rapi dengan kerudung lebar. Bisa di katakan langka. Tapi itu tak sedikitpun mengurangi aura dan kecantikannya.
“lebaran mau balik liv?” tanyanya ketika kami bertiga telah berdiri dari tempat masing-masing. Pertanyaan itu sekaligus mengingatkanku tentang harga tiket yang berhasil aku lupakan karena kedatangan dua perempuan ini.
“owh…not sure, may be yes may be no…hehe” jawabku santai
“I ask you, mau balik ga?” ucapnya kembali bertanya dengan senyum mengharap jawaban.
“yeah sure….tapi ga tau jadi pa nggak”
“aku ada voucher, lebih tepatnya punya abah. Kuala lumpur-surabaya, tanggal 5 september, kalau kamu mau, ntar aku bilang ke abah. ” penjelasan yang sempurna. Aku tak punya alasan untuk menolak. Bayangan keluarga telah ada di depanku. Terharu, bahagia, dan hampir saja mengeluarkan air mata. Tapi hatiku berhasil mengendalikannya.
“waah….thanks ya, kamu mau ikut ke Surabaya?” tanyaku sengaja menggantung.
“mau, but not this year ok” senyumnya kembali terukir. Kemudian membalikkan arah dan berjalan menjauhiku. Lebih dari sekedar jawaban, gumamku dalam hati.
“say my salam to your abah” Rany hanya menjawabnya dengan membalikkan badan dan membentuk tangan kanannya seperti huruf O. begitu indah.

No comments:

Post a Comment