May 4, 2010

bab 1

madura memang lebih indah, setidaknya kata itulah yang bisa aku katakan saat menginjakkan kaki di madura. tempat lahir hingga aku mampu berjalan dan berlari. tak ada yang bisa menandingi kemegahan langit desaku ini, karena angin dan awan memang seakan menyatu untuk membahagiakan setiap jengkal langkahku di sini. telah banyak tempat pariwisata yang telah aku kunjungi, tapi memang tak pernah mengalahkan perasaan damai seperti ketika aku duduk-duduk di pantai belakang rumah, atau sekedar berjalan-jalan melewati sawah-sawah yang selalu penuh dengan tumbuhan. ayahku petani, ibuku pun petani...meski tak semua orang mampu bangga dengan title anak petani, tapi aku punya kebanggaan yang tak terhingga kepada ibu dan bapak yang sempurna.

ayah adalah pahlawan dan sekaligus kompetitor abadi yang belum bisa aku kalahkan. mungkin sekarang aku sudah sedikit lega karena telah melampaui apa yang ayah cita-citakan. dulu ayah sangat berambisi bisa kuliah di arab saudi, hingga suatu hari hal itu hampir akan terjadi.

tapi ayah tetap gagah dan belum terkalahkan dalam benakku, beliau masih memajang foto ukuran raksasa yang di sebut kalpataru tahun 1990, yah....foto dengan presiden Indonesia saat itu di istana negara. setiap aku melihat foto di dinding ruang tamu, aku masih selalu merasa sangat rendah di bandingkan ayah. di bandingkan, aku masih bocah yang tak mengerti apa itu bisnis dan politik di kehidupan nyata. meski banyak referensi terpercaya dari mulai buku sampai internet telah aku baca dan aku fahami, tapi setelah tiba untuk mempraktekkannya, selalu jauh dari jangkauan dan emosiku.

ada lagi piagam penghargaan terbaru yang mungkin akan membuatku semakin iri dengan ayah, tahun 2009 ayah kembali di undang ke istana negara untuk menerima piagam penghargaan 10 orang peduli lingkungan. beliau memang tak pernah menghitung-hitung berapa uang yang dia dapatkan, tapi senyum kemenangan yang dia bawa saat pulang telah cukup membuatku kembali ingin melebihinya.

yah...itu ayah. meski pernah merasakan bangku kuliah, aku rasa dia lebih pintar di banding aku yang kuliah sekarang. sempat aku tanya tentang ini
"aku kuliah kayaknya sama aja, masih kalah ma abah"
"ya memang ga ada yang bisa ngalahin abah kecuali tuhan" katanya puas

di tengah kebanggan ku terhadap ayah dan ibu, tetap saja aku malu kalau ada yang nanya "apa pekerjaan ayah kamu??", tepat setelah aku jawab "petani" kebanyakan dari mereka selalu memasang tampang merendahkanku. aku tak bisa mengerti mengapa hal kecil seperti ini masih mampu mengalahkan apa yang aku banggakan dari petaninya ayah dan ibuku. hingga suatu saat aku benar-benar tak kuat menahan sifat orang-orang terhadapku. puncaknya terjadi saat aku mengajar di bekasi tahun 2009.

di depan asrama pesantren aku duduk sendiri memakai kaos kebanggaanku saat di pesantren. PTMSI persatuan tenis meja seluruh indonesia. dengan kombinasi merah dan putih lambang bendera negara tercinta, aku merasa selau cocok dan percaya diri saat mengenakannya.

"akhi, ayo kita tanding di balai desa...di suruh kyai" ungkap salah satu guru senior yang kebetulan menjadi atasanku di asrama. aku hanya membalasnya dengan senyum
"gimana liv, udah siap?" tanya CEO pesantren dengan sedan memandu mobil inova biru miliknya.
"siap aja ustadz, asal lawannya ga terlalu kuat"
"loh, masalahnya ini jarang-jarang kita ngadakan tanding ama mereka. harus menang pokoknya. ok??"
"siaaap"

di dalam mobil keluarga ini memang sudah penuh dengan para asatidz yang siap tempur bermain tenis meja. sesekali aku sempat risih dengan mereka, untuk sekedar bercanda atau ngobrol menjawab pertanyaan mereka tentangku. ya maklum lah, aku baru berapa hari di pesantren ini, banyak orang yang belum aku kenal dan banyak orang yang belum mengenalku.

"ayah aliv kerja apa?" suara orang di belakangku sok akrab dengan pertanyaan yang paling aku benci. entah kenapa aku selalu suudzan dengan pertanyaan semacam ini. tapi aku berusaha menjawabnya bangga
"petani jagung dan cabe"
meski tidak melihat, aku sudah bisa memprediksi orang yang menanyakan tadi akan memandangku remeh. apalagi setelah aku dengar cerita dari wali santri yang katanya pesantren yang aku tempati ini termasuk tempat mewah untuk ukuran santri. bagaimana tidak, kamar yang lengkap denga AC kemdian setiap liburan mengadakan tour ke tempat-tempat pariwisata sudah cukup menjadi bukti kemewahan pesantren ini. daarul fikri namanya.

semenjak aku tiba di tempat ini, mungkin agak sedikit kaget dan dengan semua fasilitas yang serba wah. di tambah lagi peraturan yang lebih enjoy dan hampir bisa di katakan terlalu manja untuk ukuran santri. tidak ada hukuman terlambat ke mesjid, tidak ada hukuman bagi yang berbahasa indonesia. apalagi tiap malam minggu semua santri bisa menikmati film film baru layaknya di bioskop, tapi aku mensyukurinya...karena tugas yang di emban mungkin tak seberat pengalaman 6 tahun di pesantren asalku, al-amien.

ah....tiba tiba lamunanku buyar melihat posisi mobil sudah berada di area parkir. dengan segera aku turun dan mengambil tas peralatan di jok belakang.
"minum ini dulu liv, biar seger..." ujar kyai dengan senyum dan menyodorkan kaleng pocari swet ukuran kecil yang dingin. "ah...kebetulah" ucapku dalam hati.

balai desa ini cukup besar, dan kami di sambut dengan beberapa orang atlet yang lengkap dengan handuk di leher. melihatnya aku merasa lupa bawa handuk kecil yang biasa di bawa saat latihan atau pertandingan. "ah...tapi ga apa lah, lagian ini cuman pertandingan kecil yang ga butuh waktu lama" gumamku.

"nih adek dari mana?" suaranya cukup samar dengan teriakan semangat yng menggaung dari sporter di balai desa ini membuatku tak mendengar suaranya. samar, seperti ada yang menyapa. tapi aku membalikkan badan dan sejenak tidak memperhatikan pertandingan di meja 2.
"adek dari mana?" ucapnya lagi
"owh...madura." jawabku singkat
"ama rombongan kyai??"
"iya"
"kaosnya bagus, udah berapa lama main tenis meja?"
"baru 4 tahun, tapi ga konsisten. soalnya kan di pesantren"
tak ada lagi pertanyaan darinya, sejenak dia tersenyum melihatku khusuk memperhatikan jalannya pertandingan di set terakhir ini. aku yang dari tadi diam memberanikan diri menyapa dan balik bertanya
"bapak ikut main?"
"iya...habis ini ama kamu kayaknya. aliv kan?"
mendengar suara itu aku jadi malu dan sedikit bangga, darimana dia tau? udah kayak artis ajah.

benar ternyata, setelah pertandingan petama usai dan berakhir kekalahan bagi group kami, orang yang tadi menyapaku benar-benar keluar dari kerumunan orang. dengan sedikit berlari lari kecil dia menuju meja biru yang telah dulu aku tempati. melihat dari gaya passing dan serve nya sih kayaknya ga hebat-hebat amat. hehe
aku berusaha membanggakan diri, meski jauh di dalam hati juga ada rasa takut kalah. 

dan benar dugaanku, lawanku jauh di bawahku, tanpa niat sombong aku tetap meladeninya meski agak aku paksa mondar mandir dan sedikit gaya pukulan memejamkan mata yang pernah aku pelajari dari kawanku dulu. yah...ini trik buat lawan kita emosi dan tak bisa mengontrol jalannya pertandingan, hingga berakibat pada kesalahan. dan sesuai rencana, tepat setelah aku sedikit action di depannya, dia geleng-geleng kepala. hahaha...puas aku liatnya. sporter tambah riuh dengan serve yang aku layangkan sekitar 2 meter ke udara kemudian aku sambut dengan liukan bet yang menjadikan bola berputar sekuat mungkin hingga sulit di terima. hasilnya, lawan memang tak bisa menerima dan bola menjauh dari lapangan.

skor 2-0 cukup buatku, tanpa menjalani set ke 3 semua sudah tau pemenangnya adalah aku. usai bertanding aku dengan sportif menyalami bapak-bapak tadi, dengan senyum dia sempat memuji
"lawannya level nasional, ya pantas kalaah...hehe"
"ini bukan masalah level nasional ato desa, tapi antara kakek ama cucu....ya udah ngalah ajah" ucap kawan satu group yang duduk tepat di belakangku. dan tanpa aba-aba semua orang yang mendengar sedikit setuju dengan dua pernyataan tadi.
ah...aku cuman membalasnya dengan senyum 


_______________________________________________bersambung, hehe. ternyata nulis capek juga ya

No comments:

Post a Comment