Subjektif salah satu nilai kekinian yang dianggap tidak baik, atau sedikitnya kurang benar. Bila seseorang ingin menolak pikiran atau pendapat orang lain, maka cukup berkata, “itu subjektif”. Nuansa makna yang disebarkan oleh kata subjektif adalah nilai negatif. Sehingga setiap orang sekarang berusaha menghindar untuk disebut pendapat, idea, pikiran dan konsepnya subjektif. Dan sebagai gantinya, berusaha untuk selalu objektif. Apa arti sebenarnya dari subjektif.
Subjektif dari bahasa Inggris “subjective” artinya ada dua:
Diantara yang menarik dari kata “subjektif” ini adalah perubahan dari arti aslinya. Yang semula tidak mengandung ajaran tentang nilai, sekarang sarat dengan muatan nilai, yaitu segala sesuatu yang subjektif selalu dianggap tidak baik, tidak benar, hanya bisa dipakai sendiri dan tidak bisa dipakai orang lain. Yang demikian tidak hanya berlaku dalam pergaulan keseharian di lingkungan masyarakat awam, tetapi juga berlaku dalam lingkungan akademik. Bahkan yang paling banyak mengkampanyekan penolakan terhadap hal-hal yang subjektif, dan sebaliknya memasyarakatkan hal-hal yang objektif adalah lingkungan akademik.
Tetapi kelihatan janggal ketika lingkungan akademik pada saat yang sama mengkampanyekan penerimaan “otoritas”. Makalah ilmiyah, skripsi, tesis dan desertasi diharuskan mengutip pendapat orang lain dan mencantum referensinya. Bahkan tidak diterima bila tidak ada kutipan pendapat orang lain dan kurang referensinya, apalagi tidak ada sama sekali. Yang demikian cenderung untuk disebut tidak memenuhi persyaratan ilmiyah. Anjuran penggunaan otoritas orang ahli sama artinya anjuran untuk bersikap subjektif pada orang ahli. Yang demikian dapat menciptakan dua file yang tidak compatible dalam system syarat manusia modern.
Kalau dua file yang tak compatible itu berlangsung lama, tidak khayal akan merusak sistem kerja syaraf manusia.
Islam tak menaruk dan menjadikan “subjektif” sebagai sebuah nilai atau ajaran tentang baik buruk, benar salah, dan indah jelek. Ia sekedar kata sebagaimana manusia memaknai, artinya sesuai dengan arti aslinya, dan tidak bermuatan nilai. Karena itu tak ada perintah dan larangan dalam Al-Quran yang berbunyi seperti, “Wahai orang-orang beriman hindarilah hal-hal yang subjektif dan berpegangteguhlah pada hal-hal yang objektif”
by : Ustadz Syarqawi Dhofir
Subjektif dari bahasa Inggris “subjective” artinya ada dua:
- “Something based on personal taste or opinions” (sesuatu yang didasarkan pada rasa atau opini perorangan). Misalnya: “Very subjective description” (penjabaran yang sangat subjektif).
- “Something existing in the mind and not provoked by things outside the mind.” (sesutu hal yang ada dalam jiwa yang keberadaannya tidak dipengaruhi oleh hal-hal di luar jiwa). Misalnya, pikiran-pikiran subjektif, pengalaman-pengalaman subjektif dan perasaan-perasaan subjektif . Contoh dalam kalimat “Our perception of things is often influenced by subjective factors (Persepsi kita mengenai banyak hal selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektif), misalnya faktor kelelahan, kesibukan, pikiran rumet.
Diantara yang menarik dari kata “subjektif” ini adalah perubahan dari arti aslinya. Yang semula tidak mengandung ajaran tentang nilai, sekarang sarat dengan muatan nilai, yaitu segala sesuatu yang subjektif selalu dianggap tidak baik, tidak benar, hanya bisa dipakai sendiri dan tidak bisa dipakai orang lain. Yang demikian tidak hanya berlaku dalam pergaulan keseharian di lingkungan masyarakat awam, tetapi juga berlaku dalam lingkungan akademik. Bahkan yang paling banyak mengkampanyekan penolakan terhadap hal-hal yang subjektif, dan sebaliknya memasyarakatkan hal-hal yang objektif adalah lingkungan akademik.
Tetapi kelihatan janggal ketika lingkungan akademik pada saat yang sama mengkampanyekan penerimaan “otoritas”. Makalah ilmiyah, skripsi, tesis dan desertasi diharuskan mengutip pendapat orang lain dan mencantum referensinya. Bahkan tidak diterima bila tidak ada kutipan pendapat orang lain dan kurang referensinya, apalagi tidak ada sama sekali. Yang demikian cenderung untuk disebut tidak memenuhi persyaratan ilmiyah. Anjuran penggunaan otoritas orang ahli sama artinya anjuran untuk bersikap subjektif pada orang ahli. Yang demikian dapat menciptakan dua file yang tidak compatible dalam system syarat manusia modern.
Kalau dua file yang tak compatible itu berlangsung lama, tidak khayal akan merusak sistem kerja syaraf manusia.
Islam tak menaruk dan menjadikan “subjektif” sebagai sebuah nilai atau ajaran tentang baik buruk, benar salah, dan indah jelek. Ia sekedar kata sebagaimana manusia memaknai, artinya sesuai dengan arti aslinya, dan tidak bermuatan nilai. Karena itu tak ada perintah dan larangan dalam Al-Quran yang berbunyi seperti, “Wahai orang-orang beriman hindarilah hal-hal yang subjektif dan berpegangteguhlah pada hal-hal yang objektif”
by : Ustadz Syarqawi Dhofir
No comments:
Post a Comment