April 16, 2011

Seri Nilai Kekinian: OBJEKTIF

Dunia kesadaran rasional kita  selain mengembangkan ajaran tentang nilai  kebebasan dan rasionalitas, juga mengembangkan objektivitas.  Ajaran nilai  objektivitas ini  mengajarkan kepada kita, segala yang tak objektif adalah salah dan tidak baik. Karena itu masyarakat  zaman ini mem-primadona-kan  hal-hal yang objektif dan menolak segalah hal tak objektif. Apa arti yang sebenarnya arti objektif itu ? Dan mengapa pula berkembang menjadi sebuah nilai yang sangat ditaati ? Apakah agama juga mengajarkannya ?

Objektif dari bahasa Inggris “objective”, . lawannya “subjective”, artinya:

  1. Not influenced by personal feelings or opinions”  (tak dipengaruhi oleh selera-selera atau opini-opini pribadi)
  2. Fairness” (kejujuran, keterbukaan)
  3. Having existence outside the mind” (Memiliki keberadaan di luar diri) , ini makna yang lazim berlaku dalam dunia filsafat.
  4. “Can be observed  and proved “ (yang dapat diamati dan dibuktikan)
  5. “Realistic aims” (sasaran-sasaran yang nyata).

Lima makna itu menuturkan pada kita, pada hakikatnya makna objektif adalah kejujuran untuk tidak mencampurkan pikiran, perasaan dan apa saja yang berasal dari dalam kita ke dalam sasaran  yang kita lihat, kita pikir, kita rasakan, dan kita sentuh. Selain itu,  sesuatu yang objektif  adalah  sesuatu yang dapat diamati secara inderawi dan dapat dibuktikan secara nyata lewat pengujian-pengujian empirik. Konsekwensinya, segala sesuatu yang bermuatan pengaruh pikiran, perasaan, kemauan dan apa saja yang berasal dari  dalam kita, maka segala sesuatu itu tidak benar karena subjektif dan tidak dapat disebut objektif. Termasuk juga, segala hal yang tidak dapat diamati oleh kekuatan indera  dan tidak dapat diuji keberadaannya  maka segala sesuatu itu tidak objektif, dan karenanya tidak benar. Demikian bunyi ajaran dari nilai objektivitas.

Persoalannya sekarang apakah Tuhan, syurga, neraka, malaikat, dan bahkan benda-benda yang inderawi sekalipun, seperti air, tanah dan udara dapat dikenali secara objektif, dan diperoleh pengetahuan mengenainya secara objektif pula ?

Pada kesempatan ini saya ingin menegaskan bahwa objektivitas murni itu tidak pernah ada. Sebab setiap kali kita mengenali sesuatu berarti pada saat yang sama seluruh atau sebagian dari diri kita masuk ke dalamnya. Mata kita yang berbentuk bulat dan tidak datar mempengaruhi seluruh informasi yang diserap dari sasaran yang kita lihat. Jadi pada saat seseorang mengenali atau mengamati sasaran, pada saat yang sama orang itu telah memasukkan unsur subjektivitasnya.


Apa yang disebut dengan objektif sejati tak pernah diketahui, yang selama ini disebut objektif   sebenarnya tak lebih dari  kesepakatan orang banyak. Jadi paling  banter objektivitas itu berbentuk inter-subjektivitas, atau kesepakatan dari subjek-subjek yang banyak. . Padahal berapa banyak dalam perjalanan sejarah manusia yang mengungkapkan bahwa kebenaran itu justru diperoleh oleh seseorang karena melawan pendapat orang banyak ? Apa yang dipikirkan oleh Nabi Muhammad dahulu bertentangan dengan hampir semua kesepakatan masyarakatnya saat itu. Einstein yang menemukan konsep yang bisa melahirkan bom nuklir bertentangan dengan tradisi fisikawan sebelumnya, demikian juga penemu listrik dan lain-lainnya.  Pendek kata kebenaran tidak harus lahir dari objektivitas atau  inter-subjektivitas alias kesepakatan orang banyak, tapi bisa muncul juga, bahkan selalu muncul  dari subjektivitas unggul yang mengatasi zamannya.

Itu pula sebabnya, barangkali,  mengapa agama tidak mengajarkan “objektivitas” sebagai nilai kebaikan atau kebenaran yang diserukan dan didakwahkan. Lalu ….?!!!

No comments:

Post a Comment