December 30, 2010

bahasa

Tak ada lagi gemuruh dan suara yang datang di pintu telingaku, semua seperti sedang berhenti seketika melihatku sedang merunduk melewati jalan setapak, kepastian. Inginku berbicara dengan bahasa yang biasa kugunakan. Sekedar melampiaskan hasrat dan pernyataan yang sempat terlupakan karena waktu. Tapi mereka seakan sudah tak mememahami bahasa ini, bahkan sempat kucoba dengan bahasa isyarat. Sama saja, tak ada jawaban. Kumerasa kita tak lagi bisa untuk berkomunikasi, karena bahasa yang biasa kita gunakan sudah terlampau jauh berbeda.


Aku sendiri di pelataran rasa, bersama bingkisan-bingkisan doa kepada impian di setiap jari-jari bintang. Kuingat satu persatu nama-nama bulan yang pernah Tuhan ciptakan, dan yang kuingat hanyalah warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu, pelangi. Meski taqdir tak pernah membiarkannya berkibar pada langit yang gelap, bintang-bintang cukup dewasa dengan menyempatkan diri berbaris membentuk setengah lingkar, persis seperti pelangi.

Sungguh aku hanya ingin mereka mengerti, sepenuhnya. Sementara antara jawaban dan tindakan adalah hak dari masing-masing insan. Dan jika itu tak mampu kau lakukan, maka itu hanya akan menjadi bagian dari hakmu untuk menambah daftar masalah hidupku.

No comments:

Post a Comment