Liburan kali ini cukup membuat aku menghilang sejenak dari kekalutan pikiran karena beban. Masih masalah yang sama, yuran yang masih belum dibayar juga uang sewa apartemen yang semakin ga jelas. Dan juga ancaman-ancaman tidak bisa daftar ulang semester karena masih belum lunas. Itu cerita lama yang abadi bagiku, setiap semester aku melalui hal yang sama. Berbaris mengantri tanda tangan sang bendahara untuk rekomendasi tunggakan.
Kekurangan uang menjadi hal biasa bagiku. Kehidupanku sebagai mahasiswa jelas jauh dari seperti yang orang lain bayangkan. Senyum dan kabar bahagiaku menjadi pembatas agar orang-orang diluar sana tak tau apa yang sedang kualami disini. Hanya Tuhan yang paling tau kondisiku menjalani hari. Mungkin cukup 'lebay' rasanya kalau aku sendiri menganggap sebagai orang melarat yang kekurangan uang untuk biaya hidup. Tapi memang tak ada yang bisa menggantikan rangkaian kalimat tersebut, aku memang benar-benar kekurangan uang. Entah sudah berapa bulan aku tak menerima kiriman lagi, kurasa sudah lama sekali sampai aku lupa bahwa aku pernah dikirim. Dan ini jelas adalah konsekuensi hidup, keputusanku untuk kuliah di Malaysia memang cukup kontroversial di kalangan keluarga. Dan sampai sekarangpun 'mereka' seperti tidak suka ketika melihatku pulang kampung. Cukup menyakitkan rasanya jika kehadiran seseorang tidak pernah diharapkan oleh orang lain. Meski dalam hati aku selalu bertanya, apa yang menjadi alasan mereka untuk tidak suka?
Hidup masih terus berjalan, sudah lama aku tak balik kampung untuk melepas rindu. Sebenarnya memang tak ada yang aku rindukan kecuali 3 penghuni rumah yang berdiri dalam barisan sama di pinggir jalan. Ya, dua paman yang sudah menikah dan satu lagi rumah ayah, ibu beserta adik-adik dan nenek. Sebenarnya masih banyak keluargaku yang diam di belahan desa berbeda. Meski jaraknya cukup dekat, jujur aku belum kuat mental untuk sekedar berkunjung dan mengucapkan "assalamualaikum'
Kemarin, tepat setelah cedera lututku sembuh karena salah jatuh saat mengikuti kompetisi tenis meja seminggu yang lalu. Aku kembali ke apartemen yang kusewa hingga lulus bersama teman-teman mahasiswa Indonesia. Sebelum sampai di kawasan apartemen aku bertemu dengan seorang perempuan yang cukup tua. Umurnya sekitar 60-65, beliau membawa tas kecil yang mungkin milik cucunya. Ada pasangan suami istri yang menyambut mereka berdua kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka seperti hendak melakukan perjalanan. Senyum dan suasana keluarga seperti ini yang aku rindukan.
Di sini, salah satu bagian hati aku sangat ingin pulang pada liburan semester depan. Tapi di bagian yang berbeda, aku juga belum siap mental untuk bertemu orang selain 3 penghuni rumah tersebut. Aku belum mengerti mengapa mereka sinis, aku belum siap untuk pulang dalam keadaan muda seperti ini. Hanya sebagai mahasiswa bodoh yang belum punya apa-apa.
"Lebaran ga pulang nak?" tanya ibuku di akhir pembicaraan kami
"Belum tau bu, mungkin tahun ini ga pulang"
Tak ada jawaban untuk beberapa saat, komunikasi seperti berhenti sejenak. Mungkin ibuku sedang tersenyum atau meneteskan air mata. Aku tak mau membayangkannya, karena kuyakin akan menyedihkan kalau ibuku sedang bersedih karena aku tak bisa pulang.
Lebaran menjadi momen paling pas bagi setiap keluarga untuk berkumpul dan membagi rasa, tapi bagiku itu tak ubahnya pertemuan paling tak nyaman. Karena ada berbagai pertanyaan yang belum bisa kujawab terus mengalir dan aku hanya terdiam dengan senyum manis menatap mereka kosong. Ya, aku belum siap untuk pulang dengan alasan tertentu.
Jika aku pulang, maka rindu ini akan terbayar. Tapi akan ada luka baru yang harus kurawat lagi. Maaf Bu, aku juga belum tau kapan bisa pulang. Yang jelas aku sangat merindukan kalian, Ibu, ayah, adik-adik, nenek, dan dua paman spesial yang selalu mendukung pilihanku.
Semoga Ibu tak bertanya "kapan pulang?" karena jelas itu akan membuatku diam tanpa jawaban.
Aku duduk di meja yang sama dengan Fikri. Salah satu mahasiswa yang hoby utamanya adalah pulang. Dia seperti sedang merayakan sesuatu ketika pulang, meski sebenarnya tak ada hal istimewa dalam liburan pendek akhir semester. Semangatnya untuk "istiqamah pulang" seperti yang sering dia katakan merupakan kegiatan wajib yang harus dia tunaikan.
"Gimana masa depan, udah hampir lulus nih kita" ujarnya setengah bertanya.
Di depan kami masih ada piring-piring berisi makanan yang menunggu untuk dibersihkan. Sambil mengunyah suapan terakhir yang masuk aku kemudian minum dan membuat jeda untuk bicara. "Aku masih belum yakin untuk pulang" jawabku seperti cerita sebelumnya. "Bahkan aku sendiri tak tau apa masih mau pulang atau tidak, yang jelas hanya ada keterpaksaan yang akan membuatku pulang. Selebihnya mungkin aku akan berada di tempat yang berbeda, jauh dari orang-orang yang kuhindari"
Meski ada kekosongan yang begitu luas dalam hati ini, bayangan Ayah dan Ibu selalu menjadi mimpi yang nyata bagiku. Itu saja belum cukup untuk membuatku pulang. Mungkin aku terlalu berburuk sangka, mungkin juga aku terlalu mengada-ngada. Ya, mungkin saja. Dan pertanyaan yang sama "kapan aku pulang?" belum akan bisa kujawab sebelum aku siap untuknya.
No comments:
Post a Comment