June 30, 2011

simple


Cukup lama juga ga ada postingan baru di blog ini. Kali ini aku mau berkomentar tentang salah satu teman blogger yang pernah menuliskan sesuatu tentang hubungan anak dan ayah. Inti dari tulisan tersebut kira-kira begini:
Jika suatu saat kamu memiliki pilihan yang berbeda dengan pilihan orang tua, maka pilihlah apa yang orang tua pilihkan untukmu. Dalam bahasa yang sederhana begini : kamu mau kuliah di US, tapi orang tua mau kamu kuliah di sekitar ASIA aja, maka kamu harus ikut apa kata orang tua.

 Cukup simple dan mudah difahami karena logis untuk diikuti. Ada beberapa hadits sohih yang berkenaan dengan kesimpulan diatas dan aku sangat percaya kebenaranya. Sepengetahuanku, seorang penulis akan menuliskan sesuatu karena tiga faktor. 1.pengalaman sendiri 2.pengalaman orang lain 3.mimpi dan ide. Tulisan yang kubaca tentu bukan seperti yang aku contohkan di atas. Antara pilihannya untuk kuliah di US, atau pilihan orang tua untuk kuliah di sekitar ASIA. Lebih tepatnya masalah pernikahan, dengan judul
"perkawinan antara pilihan anak dan ibu bapa"

Kalau ini ditulis atas dasar pengalaman seseorang, pasti cukup sulit bagi yang sedang menjalaninya. Tapi aku tidak mau membahas lebih lanjut atau berkomentar tentang tulisan tersebut. Aku cuma mau bercerita bagaimana orangtuaku membiarkan dan menyerahkan semua keputusanya padaku. Suatu hari aku pernah datang bertanya pada orangtua yang selalu menghabiskan waktu sore bersama adik-adik di teras rumah.

"Bagusnya kuliah dimana ya?"
Dengan tatapan datar ayah menjawab "Ayah ga tau nak, di manapun yang menurutmu bagus. Ayah setuju aja"

Bukan sebatas masalah kuliah, ada banyak hal yang aku tanyakan dalam waktu yang berbeda. Tapi Ayah dan Ibu masih dengan skema jawaban yang sama. Sejak kecil aku memang selalu disuruh memilih dan berfikir sendiri. Dulu aku pernah sekolah di madrasah ibtidaiyah, sekolah yang berlangsung setelah shalat duhur, tepat setelah sekolah formal selesai. Sejauh 4 km aku tempuh dengan memboncengi sepeda teman satu sekolah. Tapi itu tak berlangsung lama, aku memutuskan untuk berhenti dan beraktifitas di rumah karena merasa terlalu penat. Waktu itu Ibu dan Ayah cuma bilang "iya ga papa, yang penting sekolah dasar (SD) tetap masuk"

Setelah lulus, aku masuk pesantren (Al-amien). Tahun pertama dan tahun kedua adalah tahun yang sangat menyakitkan bagiku. Tak ada keinginan terindah kecuali kembali pulang ke rumah dan bebas lepas beraktifitas. Waktu itu, dalam masa satu bulan aku pulang ke rumah lebih dari 4 kali. Aku sangat tidak betah di pesantren yang penuh aturan dan hukuman.

"Kamu mau berhenti nak?"
"Nggak Bu"
"Kenapa pulang terus? kalau mau berhenti ya silahkan, cari sekolah yang menurutmu bagus. Ibu dan Ayah cuma bisa mendukung dengan doa dan materi (biaya)"

Aku tak punya jawaban logis untuk diungkapkan. Dan sejak saat itu aku tak pulang lagi kecuali liburan. Aku berusaha sekuat mungkin bertahan Waktu itu aku sadar kalau di pesantren tersebut aku akan dapat banyak hal dibandingkan sekolah di luar. Tapi tekanan dan aturan menjadikanku stress sebelum waktunya. Aku tak punya rencana untuk keluar saat itu, karena pilihanku memang jatuh di pesantren tersebut sejak kecil dulu. 

Ketika aku hendak kuliah dan mendaftar di beberapa universitas terkemuka di Indonesia, aku masih bertanya lagi pendapat orang tua. Sebaiknya aku kuliah dimana? tapi jawabanya tetap saja sama. Semua terserah padaku. Aku memiliki banyak teman yang terdidik sejalan dengan kehendak orang tuanya. Dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Contoh simplenya adalah orang tua menyuruh anaknya untuk masuk ke suatu universitas dengan jurusan yang dikehendaki oleh orangtuanya. Aku yakin ada banyak orang tua seperti itu. Tapi itu bukan orangtuaku.

Di lain kesempatan, aku kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Yah, enaknya kuliah dimana ya?" dengan diawali setengah tertawa Ayah cuma bilang "Ya terserah kamu nak, Ayah kan ga tau". Aku masih tak percaya kalau Ayah tak tau menahu tentang pendidikan. Dengan pengalaman dan relasi yang pastinya lebih banyak dariku pasti Ayah dapat banyak informasi.

"Tapi Ayah kan banyak pengalaman, temanya juga banyak"
"Memang, tapi Ayah takut salah. Kalau Ayah nyuruh kamu untuk kuliah di universitas A, kalau suatu saat disana kamu ga betah atau ngerasa ga bagus. Kan Ayah yang salah. Yang tau bagus atau tidak itu cuma kamu sendiri, karena kamu yang akan menjalaninya. Kan yang mau kuliah kamu nak, bukan Ayah. Meskipun nantinya pilihanmu salah, kamu ga bisa menyalahkan Ayah atau Ibu. Hidup ini belajar untuk menerima kegagalan dengan tidak menyalahkan orang lain"
Aku masih terdiam saat itu, tak menyangka Ayah akan memberi pengertian yang cukup sederhana. Dalam keadaan mencerna kata-kata Ayah, beliau kembali bersuara "Niat Ayah dan Ibu sederhana sekali nak, kami hanya ingin kamu dan adik-adik melakukan apa yang kalian inginkan dalam hidup. Dan karena setiap sesuatu ada harganya, Ayah dan Ibu cuma bisa menolong untuk mendanai dan berdoa. Lagipun Ayah ga pernah kuliah" ungkapnya diakhiri senyum

"Yang Ayah dan Ibu bisa lakukan cuma ngasi uang kalo kamu butuh, berdoa setiap hari supaya kamu sehat. Kalau masalah pilihan, itu hidupmu dan itu pilihanmu. Sebab kamu yang akan menjalaninya"
"Tapi Ayah dan Ibu kan lebih dekat dengan Allah, pasti punya pilihan lebih baik dalam segala hal" jawabku.
"Lantas apa gunanya Allah memberimu akal fikiran dan perasaan, kalau kehidupanmu sudah Ayah pilihkan?"

Entah kebetulan atau tidak, orangtuaku tak pernah melarangku melakukan sesuatu. "Kalau kamu merasa mampu, silahkan". Sederhana sekali....

1 comment:

  1. Cantiknya aturan hidup. Setiap manusia, walaupun matlamat hidupnya sama tetapi jalan cerita pasti berbeda-beda. Begitu juga dengan ibu bapa yang tidak dapat kita nafikan pengalaman yang telah dilalui, turut mempengaruhi didikan mereka terhadap anak-anak.

    Maka, keterbukaan ibu bapa agar anak mereka memilih jalan kehidupannya sendiri juga merupakan pilihan dari mereka dan sebagai anak, kita perlu mentaati pilihan dan keputusan mereka.

    sekadar pandangan biasa.

    ReplyDelete