June 21, 2011

Harus sadar



Baru saja Bunda menelfonku, mungkin rindu ini sudah malaikat sampaikan secara menyeluruh. Bathin ini bahagia mendengar kabar sehat dan cukup nikmat iman. Bathin ini juga seperti melihat Bunda sedang tersenyum dan tertawa segar, mungkin untuk melepaskan lelah menjalani taqdir.

Kira-kira akhir bulan september 2010 aku menjalani operasi, aku tak terlalu ingat tanggal berapa. Waktu itu aku berniat menjalani operasi sendiri tanpa Ayah dan Bunda. Tapi akhirnya kami harus berangkat bertiga menaiki angkot ke lokasi, rumah sakit. Rumah sakit yang berwarna putih memiliki keangkeran sendiri bagiku saat itu. Aku duduk di kursi ruang tunggu operasi dengan salah seorang pasien tersisa. Dalam bahasa madura, kami saling berkenalan untuk menghilangkan jenuh karena telah lama menunggu.

"Habis berapa buat oprasi?" tanyanya setelah cukup lama kami berkenalan menanyakan asal dan sakit apa.
"Kayaknya gratis pak"
"Kok bisa?"
"Pemilik rumah sakit ini teman paman saya, tadi ga mau nerima bayaran"

Kesimpulan akhir dari pembicaraan kami adalah: setiap orang akan bertemu dengan 'waktunya'. Dimana kesulitan akan menyebar rata pada setiap manusia, adanya seperti nikmat yang kadang jarang kita sadari. Bapak beranak dua tadi harus susah payah menjual  sapi-sapinya untuk biaya operasi. Sementara orang itu akan beranggapan bahwa aku mujur sekali karena tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk semua biaya sewa kamar dan lain-lain. Tapi kehidupan tak terlalu nampak jelas bagi orang lain, hanya jiwa yang merasakanya sajalah yang tau betapa hidup ini cukup susah untuk dilalui.

Masih tentang Bunda, setelah selesai dioprasi aku langsung berjalan keluar ruangan menemui Bunda dan Ayah yang sedang duduk menungguku risau.

"kok udah bisa jalan?"
"Yang dioprasi kan bukan kakinya yah" jawabku dengan pakaian masih dihiasi dengan bercak darah cukup banyak di beberapa bagian, aku teresenyum sambil berjalan ke arah kamar pasien untuk ganti baju. Berhubung jarak ruang operasi dan kamar pasien cukup jauh, di tengah perjalan aku kehilangan konsentrasi. Pandangan kabur dan badan lemas kemudian terkapar. Bahkan untuk menggerakkan tangan saja aku tak mampu. Ketika Bunda dan Ayah sedang shok panik melihatku terjatuh, tapi aku tertawa menunjukkan kalau aku baik-baik aja.

"Eh, malah ketawa...." timbal Bunda masih panik. Aku baru bisa sadar ketika hari akan segera berakhir. Aku benar-benar merasa dalam keadaan baik, tapi setelah aku terbangun dari pingsan aku kembali tersenyum sementara orang-orang di sampingku terlihat serius dan tegang. Aku kembali tersenyum. hehehe

Kadang, kita masih merasa semuanya baik-baik saja meski sudah dalam keadaan lemah tak berdaya. Walau ada senyum dan tenang, tetap saja cukup membuat orang lain panik.

No comments:

Post a Comment