November 11, 2009

tangan tuhan

aku masih ingat bagaimana aku meminta pada tuhan, lewat sujud, atau pada saat berjalan sekalipun aku selalu berdoa mengharapkan sesuatu itu terjadi. tapi saat tuhan telah berikan, aku malah menyesal. pernah suatu ketika ku benar-benar ingin mendapatkannya, dengan segala tenaga yang ada aku meminta untuk suatu kebaikan. tapi saat tiba saatnya, aku malah ingin menangis melihat diri yang selalu menuntut.

seorang dengan jas hitam dan dasi itu sedemikian gagahnya mengalahkan mendung sore itu. duduk sejajar denganku menghadap pada satu manusia. titik mata telah tertuju pada satu manusia yang sama.
            "pak kyai, tolong hadirkan tuhan di meja rapat kami. sampaikan pada tuhan untuk tidak berdiam di masjid aja, tolonglah hadir saat kami memasuki gedung DPR"
             "di minta atau tidak, tuhan itu ada"
dialog dengan nada serak merobek kelabunya langit sore itu. sejenak airmata melintasi kemudian berubah menjadi senyum dan tawa. dalam diam itu aku mencoba melihat sosok mata yang kian merah mengalahkan senja. beliau menatapku bersama senyum.
             "bagaimanapun, di manapun, menjadi siapapun kamu. jangan pernah lupa, kalau kau juga terlahir dari rahim seorang ibu, jangan pernah lupa dimana dan kapan kamu menangis untuk pertama kalinya di tempat yang biasa kita sebut bumi"

hari ini aku di langit dan di tanah yang berbeda, aku menyadari betapa banyak penyesalan yang berujung menyalahkan tuhan. berkali-kali penyesalan besar yang menghasilkan tangis dan catatan merah di buku kehidupanku itu terjadi. tuhan seakan selalu salah dan salah, tuhan selalu salah. selalu saja salah. hingga suatu ketika aku bertemu dengan dinding hitam yang sangat keras. ah....menghantamya hanya akan membuatku kehilangan darah. hingga aku bertemu dengan lembaran berwarna hijau, yang menyadarkan dan menegaskan keyakinanku bahwa tuhan tak pernah salah. tuhan masih memberi kaki untuk berjalan gagah, badan yang sempurna tanpa sedikitpun kekurangan. kehidupan yang layak dan nafas yang teratur tanpa penyakit. masih pantaskah jika kemudian tuhan selalu salah?. ingin aku kembali bersujud memohon maaf atas segala khilaf. menangis dengan suara yang keras. lalu kemudian aku mencari salah siapa hidup ini terbentang dan harus ku jalani dengan tetes airmata? tidak kah cukup jejak kaki ini untuk sebuah tanda bahwa aku pernah melewatinya? mengapa harus tangis yang aku berikan? hanya untuk satu langkah pada matahari pagi.

entah pada langkah ke berapa kalinya aku terhenti pada sosok mata dengan cahaya hijaunya surga. dengan kelembutan hati dan putih layaknya kapas. mengharapkan senyumnya, mendengar suaranya dan yang terakhir menatap matanya. mengingikan kehangatan rasa saat melihatnya berjalan anggun di depanku. dari sinilah kemudian kisah ini kembali membuka lembar baru. pada halaman dan judul yang berbeda. atau bahkan mungkin dengan warna tinta yang berbeda.


ribuan kata telah ku tulis dan kurangkai menjadi sebuah puisi. tapi tetap saja tak mampu mewakili perasaanku. rasa yang membuatku tersenyum kala sedih, dan bangkit saat aku lemah. kepada yang paling aku hormati, aku kembali merangkai kata, dengan harapan kali ini kata-kataku mampu membuatmu berkata "aku sayang kamu" tepat di hadapanku. wahai orang yang lembut hatinya, telah lama aku menyimpan rindu, yang selama ini telah mampu menghadirkanmu di saat gelapnya malam. dan ketika kau ada di depanku, ingin ku luahkan semua ayat yang pernah ada dalam coretan itu. tapi tatap matamu merubah segala yang aku rencanakan, membuatku bisu dan hanya mampu tersenyum. makhluk tuhan yang selalu mengerti dan memahami perasaanku, entah bagaimana aku menghargai dan mampu memahaminya.

aku ingin berhenti pada sebuah waktu, dimana tangan tuhan bersedia menyatukan kita di kehidupan dan bumi yang sama. dan saat itu aku ingin memohon untuk sebuah keteguhan pada sebuah keyakinanku telah memilihmu sebagai pendamping hidupku.

No comments:

Post a Comment