November 3, 2010

masalah : sesuatu yang harus ada


Kira-kira sudah 40 jam aku berada di atas kasur. Tak pernah berganti pakaian, mandi bahkan kewajiban shalat telah aku tinggalkan dengan sengaja. Aku hanya memakan kue dan kerupuk yang tersedia di kamar, bersama air botol dalam kulkas. Betul-betul tak ada aktifitas yang ingin kulakukan selain menangisi kenyataan. Berfikir akan jalan keluar sekaligus membangun mental untuk menghadapi hari-hari yang kian kemarau. Kadang aku merasa sudah setengah gila, saat kepalaku seperti tak kuat lagi untuk berfikir. Kemudian aku tertawa sendiri sambil bertanya, mengapa aku begini? Badanku lemah, airmataku telah tumpah di mana-mana.
Menangis, tidur atau sekedar berbaring. Itu saja yang kulakukan selama ini. Situasi yang tak pernah kualami sebelumnya. Emosi dan fikiran seakan telah terkuras habis menghadapi masalah ini. Ayah sakit. Aku tak tau persis bagaimana semua ini terjadi, sebab aku tidak sedang di rumah saat ayahku sakit. setiba di rumah, aku hanya sempat melihat beberapa percik darah di lantai kamarku. Sementara ayah dan ibu sudah tak ada di rumah. Hanya ada nenek yang baru saja pulang dari ladang bersama kambing-kambingnya.

Ayah, orang yang paling penting dalam hidupku. Beliaulah yang selalu memberikan dukungan seratus persen dengan atau tanpa alasan. Emosi yang selalu terkontrol, pemikiran tepat dan matang serta tindakan yang professional. Tak kan pernah kutemukan pada orang lain. aku seperti kehilangan pegangan saat ini, tak seperti biasanya. Setiap masalah yang kudapat, terasa lebih ringan karena ayah begitu yakin di setiap kata-kata yang diungkapnya. Suatu sore kami berjalan kepantai, hanya berdua. Mencari kepiting dan menjaring ikan, inilah aktifitas rutin yang selalu kami lewati berdua saat kumasih duduk di bangku sekolah dasar.
“yah, katanya dulu ayah sempat sakit selama setahun? Cara sembuhnya gimana?”
“owh…ya dulu waktu kamu lahir. Sembuhnya lama, makanya sekarang ayah seperti orang pincang” jawabnya santai dengan senyum khas yang selalu ku temukan sebelum ini.

Ketika aku lahir, ayah sudah seperti mayat hidup. Sejengkalpun tak mampu beranjak dari tempat tidur. Semua aktifitas dia selesaikan di tempat yang sama. Aku tak tau persis cerita sebenarnya, apa dan bagaimana penyakit itu menyerang ayah sedemikian lama. Biaya pengobatan dan penghidupan adalah dua hal yang tak mampu kutanyakan. Yang jelas, ibu dan neneklah yang dengan sabar menjaga ayah selama dua belas bulan. Dengan harapan dan keyakinan untuk sembuh dan menjalani hidup secara normal layaknya orang lain. begitulah cerita orang-orang kepadaku. Ibu, ayah dan nenek pun mengakui situasi waktu itu sangat terjal untuk dilalui. Bukan hanya masalah finansial yang melanda kelurga ini, dukungan moralpun mulai sulit didapat baik dari kerabat maupun tetangga sekitar. Malah cibiran telah pernah dihadapi. Tapi beruntunglah nenek seorang wanita yang kuat, aku bisa merasakannya saat sudah besar seperti sekarang. Tekad dan ketekunannya telah membuatku kagum pada semua sifat dan tabiat yang dimilikinya. Bagi nenek dan ibu, ayah dan aku mereka anggap bayi yang sama-sama baru lahir. Masih butuh dirawat hingga mampu berjalan sendiri.
Setelah setahun hanya berbaring tak melakukan apa-apa, ayah kemudian menjalani hidupnya seperti bayi yang harus belajar untuk berjalan. Butuh waktu dua bulan untuk sembuh dan bisa berjalan seperti biasa, namun tak normal layaknya orang lain. hingga sekarang pun ayah masih tertatih-tatih jika berjalan. Syukur Alhamdulillah masa-masa silam itu telah berhasi dilewati dengan sempurna. Sekarang, cerita menyedihkan ini telah menjadi motivasi disetiap kami temukan masalah.
“pung…ayo ke rumah sakit, nenek sendirian ni”
“…..” aku betul-betul tak punya kata yang pas untuk menjawab ajakan nenek. Aku tidak sedang berfikir untuk menerimanya, hingga diamlah jawaban paling pantas untuk kuberikan. Melihatku diam tanpa respon sedikitpun, nenek kemudian duduk di sampingku dengan senyum dan tangis yang sengaja dia tunjukkan. Tangannya memaksaku untuk menghadapnya, agar terlihat jelas airmatanya sedang mengalir. Rupanya nenek tak cukup sabar menghadapiku. Melihatku hanya diam tanpa jawaban, dia memilih beranjak dan pergi meninggalkan rumah.

Aku benar-benar merasakan mental tak lagi kuat untuk menghadapi jalan yang menurutku terlalu menanjak. Sedikitpun aku tak punya keyakinan dapat melaluinya, bahkan aku sempat merasa malaikatpun tak mampu menolong kami. Dan saat-saat seperti inilah aku mengucap “aku tahu Tuhan sedang mendengarku, dan aku tahu Tuhan mampu menunda masalah ini hingga pada waktu yang aku mampu”. Aku tak percaya masalah ini begitu indah untuk dinikmati. Aku seakan tak punya jawaban sepatah katapun kepada orang-orang disampingku saat ini. Karena kurasa, airmata ini telah cukup mampu menggantikan kata pada sebuah jawaban.

Di balik jendela ayah masih terkapar dengan beberapa alat bantu pernafasan, infus dan bebarapa selang kecil seperti kabel hampir di seluruh bagian dadanya. Mukanya sudah lebam, entah sejak kapan ayah begitu. Sungguh besar harapanku untuk melihat beliau kembali tersenyum atau memarahiku. Aku bersedia dipukul dan dimarahi, asal beliau bisa sehat seperti dulu lagi. Begitulah yang kufikirkan saat duduk di teras rumah sakit.
“maaf, boleh saya duduk?” ucap perempuan di depanku.
“ya, silahkan”
Tak ada percakapan lagi setelah itu, kami berdua seperti sama-sama beranggapan bahwa diam adalah komunikasi terindah pada saat itu. Cukup lama kami berdiam tanpa suara atau aktifitas lain. Bahkan pandangan dan posisi dudukpun tak ada yang berubah.
“siapa yang sakit?” ucapnya. Pertanyaan yang hampir selalu ditanyakan kepada orang yang baru kenal dan bertemu di rumah sakit.
“ayah” jawabku singkat.
“udah berapa hari?” tanyanya lagi
“tiga hari, kamu ngapain di sini? Siapa yang sakit?”          
“paman”

Dari sinilah kami saling mengenal satu sama lain. Namanya Maryam, umurnya lebih tua sepuluh tahun dariku, telah berkeluarga dengan dua anak perempuan dan satu lelaki. Aku merasa telah lama mengenalnya, hingga tanpa terasa kata demi kata begitu saja mengalir menjadi cerita kehidupan yang bisa disimpulkan sebagai keluhan pada penderitaan.
“hidup ini indah, bahkan kesedihan dan penderitaan masih harus kita syukuri. Dengan atau tanpa senyum” ucapnya sambil menoleh ke arahku. “aku tidak sedang ingin berbagi tentang kesedihan dan pedihnya kehidupan. Karena aku merasa itu terlalu pahit untuk kau percaya”

Masalah, sesuatu yang memang harus ada dalam kehidupan kita. Aku pun tak tau alasan paling tepat jika kau menanyakan mengapa masalah harus ada? Orang-orang yang bertanya seperti ini, adalah mereka yang tak tau pasti apa tujuan masalah itu diciptakan. Karena bagi mereka yang tau, maka pertanyaan seperti ini seharusnya tak perlu ada. Seperti kita yang tau alasan mengapa Tuhan ciptakan malam dan siang. Saat kita tau dan punya alasan yang bisa diterima, maka kita tak perlu bertanya lagi. Mungkin masih akan ada yang bertanya, tapi bagi mereka adik-adik yang belum dewasa, persisnya bagi mereka yang belum tau pasti. Masalah, memang harus ada. Tapi sebagian atau kebanyakan dari kita belum tau tujuan mengapa Tuhan memberi masalah pada masing-masing kita. Hingga terciptalah beberapa anggapan yang dihasilkan oleh logika. Seperti cobaan, musibah, ujian atau beberapa kata yang sejenis dengannya. Tapi bagiku, masalah memang harus ada. Meski tak semua masalah aku mengerti, aku berusaha untuk tidak bertanya mengapa masalah ini ada. Karena aku tau, masalah memang harus ada.

Masalah, memang sengaja Tuhan ciptakan sulit atau tidak mudah untuk diselesaikan. Karena jika masalah diciptakan mudah, maka itu tak lagi bisa dikategorikan sebagai masalah. Masalah memang sengaja diciptakan menyakitkan, terasa tidak mungkin untuk diselesaikan. Agar kita benar-benar serius menghadapinya. Coba bayangkan jika masalah dicipta mudah, atau bahkan bisa selesai tanpa kerja keras? Mungkin setiap kita akan santai-santai saja menghadapi hidup ini. Tidak serius dan tidak terlalu ambil pusing jika bertemu dengan masalah. Kalau sudah begini, maka tak ada lagi rapat dan musyawarah bulanan. Mungkin setiap kita hanya bisa main-main seperti anak kecil yang baru bisa merangkak. Percayalah, Tuhan selalu lebih tau tentang seberapa besar masalah yang sedang kau hadapai. Hingga Dia tak mungkin salah memberikan masalah pada hambaNya. Masalah seperti halnya ujian di bangku sekolah. TK, SD, SMP, SMA, kuliah. Setiap tingkatan tentu memiliki tingkat kesulitan yang berbeda, karena tidak mungkin anak-anak TK mendapat soal ujian yang seharusnya dibagikan pada anak SMA. Dan Tuhan tau betul dimana tingkatmu saat ini. Jika kau sedang duduk di bangku kuliah, maka kau akan mendapat ujian tingkat kuliah. Karena kalau kau mendapat ujian tingkat TK,kau tak perlu belajar lagi dan tak pantas untuk duduk di bangku kuliah. Mau tidak mau kau harus turun tingkat. Tapi bedanya di sini adalah, Tuhan tak pernah menanyakan apakah kamu mampu atau tidak? Tuhan tak pernah menunggu persetujuan kita. Karena Dia tau, kita mampu menyelesaikan dan menghadapinya.

Dulu aku juga sama sepertimu, sering menyesali kenyataan dan kehendak Tuhan. Tapi akhirnya aku bertemu dengan seseorang, kami belum sempat berkenalan seperti yang kita lakukan barusan. Dia lelaki berumur 35 tahun, hampir semua penyakit telah dia rasakan, bisa di katakan hidupnya adalah penyakit tanpa akhir. Saat berumur 20 tahun, dia sudah diserang kanker, kemudian tahun berikutnya bermasalah dengan ginjalnya. Hidupnya seperti kurang lengkap jika tidak keluar masuk rumah sakit. Dan saat dia bertemu denganku, ginjalnya hanya tinggal satu. Jari-jari kakinya telah terpaksa dipotong agar penyakitnya tidak merambat ke seluruh tubuhnya. Kepalanya botak tak lagi tumbuh rambut. Intinya dia menasehatiku, sama seperti yang kulakukan saat ini padamu. meski tak semua kata-kata kami sama, tapi kurang lebih seperti inilah yang dia katakan padaku. ada rangkaian kalimat yang selalu menjadi semangat saat aku terjatuh. “aku bisa mengakhiri hidup ini sekarang, cukup dengan tidak meminum oba-obat ini. Tapi aku tak mau begitu, biarkan saja aku begini, tersiksa dalam waktu yang cukup lama sebelum mati. Dengan sakit yang teramat sangat, agar aku bisa menikmati indahnya kehidupan”

 “life is beautiful, dan aku tak perlu tau siapa Tuhanmu. Karena jika kau percaya akan adanya Tuhan, maka kau harus percaya segala yang terjadi adalah rencana dan kehendak Tuhan. Jangan pernah menganggap Tuhanmu marah, karena setiap Tuhan tak pernah punya sifat pemarah. hidupku adalah masalah yang harus aku selesaikan, dan saat semua masalah selesai, maka aku akan kembali pada Tuhanku” inilah kalimat terakhir yang Maryam katakan, sebelum akhirnya dia beranjak menjauh dari tempatku duduk karena hari sudah mulai gelap. Memang hanya sesaat kami bertemu kemudian membahas bagian dari kehidupan, yaitu masalah. Aku tak tau tentang alasan mengapa dia kemudian memilih untuk menasehatiku. Dia seperti malaikat yang tiba-tiba saja datang untuk menguatkan kembali mental yang sempat rapuh oleh masalah.

Kini aku mulai bisa percaya, bahwa Tuhan tidak akan pernah salah memberikan rezeki atau masalah padah setiap kita. Tidak akan salah, karena Tuhanku sempurna. aku merasa sedikit beban telah hilang. Meski aku tau masalah masih seratus persen belum terkurangi sama sekali. tapi setidaknya aku bisa lebih berlapang dada menghadapi masalah. Terima kasih Tuhan, kau telah kirimkan pesan melalui hambaMu. Aku merasa bersalah telah pernah menangis karena sakit. Tapi sungguh, itu bukan berarti aku tidak ingin menerima masalah yang Kau berikan. Tangisku hanyalah reaksi tubuh yang terasa sakit.

No comments:

Post a Comment